Etika terbagi atas dua :
1.
Manusia Etika Umum
ialah
etika yang membahas tentang kondisi-kondisi dasar bagaimana itu bertindak
secara etis. Etika inilah yang dijadikan dasar dan pegangan manusia untuk
bertindak dan digunakan sebagai tolak ukur penilaian baik buruknya suatu tindakan.
2. Etika khusus ialah penerapan moral dasar
dalam bidang kehidupan yang khusus misalnya olah raga, bisnis, atau profesi
tertentu. Dari sinilah nanti akan lahir etika bisnis dan etika profesi
(wartawan, dokter, hakim, pustakawan, dan lainnya).
Pasal-pasal mengenai Etika Bisnis
1. Pasal 4, hak konsumen adalah :
Ayat
1 : “hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
Ayat
3 : “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa”.
2. Pasal 7, kewajiban pelaku usaha adalah :
Ayat
2 : “memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan”
3. Pasal 8
Ayat
1 : “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Ayat
4 : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya
dari peredaran”
4. Pasal 19 :
Ayat
1 : “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan”
Ayat
2 : “Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian
uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Ayat
3 : “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari
setelah tanggal transaksi”
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya
di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam
merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
a)Utilitarian Approach :
setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena
itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat
memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak
membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
b) Individual Rights Approach
:
setiap orang dalam tindakan
dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun
tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan
terjadi benturan dengan hak orang lain.
c) Justice Approach :
para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan
bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara
perseorangan ataupun secara kelompok.
Etika bisnis dalam perusahaan memiliki peran
yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan
memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai
(value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya
dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang
transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan
yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Haruslah diyakini bahwa pada
dasarnya praktek etika bisnis akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk
jangka menengah maupun jangka panjang, karena:
1. Mampu mengurangi biaya akibat
dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi, baik intern perusahaan maupun dengan
eksternal.
2. Mampu meningkatkan motivasi pekerja.
3. Melindungi prinsip kebebasan
berniaga.
4. Mampu meningkatkan keunggulan
bersaing.
Perkembangan yang pesat dari korporasi ini terutama
dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan masyarakat itu sendiri, yakni
perkembangan masyarakat agraris ke masyarakat industri dan perdagangan
(internasional) pada dasawarsa terakhir ini. Ciri masyarakat industri adalah
dengan munculnya korporasi sebagai pelaku ekonomi atau subyek hukum. Korporasi
dalam perkembangan- nya dapat memperoleh hak (dan kewajiban) yang dimiliki oleh
manusia, seperti dapat membuat sebuah kontrak, dapat menuntut dan dituntut, namun
korporasi tetap berbeda dengan subyek hokum manusia
yakni pada sifatnya yang tidak memiliki jangka waktu hidup, dalam arti dia bisa
hidup selama- lamanya.
Korporasi terbentuk ketika orang-orang mulai berhimpun
(mengorganisasikan diri) untuk keperluan mengumpulkan kapital (modal). Dalam
korporasi, modal dihimpun dengan mengikutsertakan pihak- pihak luar (yang
bahkan melampaui batas-batas negara). Secara hukum, lembaga penghimpun kapital
ini berkembang dan kemudian berdiri sendiri, terlepas dari orang-orang yang
menyertakan modalnya. Untuk menjalankan lembaga ini ada pengurusnya tersendiri,
yaitu manajemen lengkap dengan jajaran direksi dan manajernya. Korporasi yang
adalah perkumpulan orang yang mempunyai kepentingan, di mana orang- orang
tersebut merupakan anggota dari korporasi dan anggota yang mempunyai kekuasaan
dalam pengaturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang
tertinggi dalam peraturan korporasi. Sebagai badan yang didirikan dengan motif
ekonomi, maka tujuan utamanya adalah mencari keuntungan, sehingga korporasi
dalam hal ini akan memasuki usaha-usaha yang
dapat menghasilkan keuntungan.
Pengertian korporasi atau badan hukum dapat dirinci menjadi
2 (dua) golongan jika dilihat dari perspektif cara mendirikan dan peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya, yaitu:
1. Korporasi Egoistis
Yaitu korporasi yang menyelenggarakan kepen- tingan para
anggotanya, terutama harta kekayaan, misalnya Perseroan Terbatas, Serikat
Pekerja;.
2. Korporasi yang Alturistis
Yaitu korporasi yang tidak menyelenggarakan kepentingan
para anggotanya, seperti per- himpunan yang memperhatikan nasib orang-orang
tuna netra, penyakit tbc, penyakit jantung, penderita cacat, dan sebagainya
(Chidir Ali, 1987:74)
Kedudukan dan fungsi korporasi di berbagai belahan dunia
semakin menduduki posisi / tempat yang penting. Kedudukan korporasi yang
memiliki fungsi yang penting ternyata juga membawa dampak negatif, di mana
korporasi untuk mencapai tujuannya melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar
hukum. Secara umum, I. S. Susanto menyatakan bahwa kejahatan korporasi dapat
dibedakan atas:
1. Crimes for Corporation
Yakni pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi karena
menginginkan tujuannya yakni mencari keuntungan dengan cara apapun
2. Criminal Corporation
Yakni dibentuknya badan usaha yang memang
ditujukan/diperuntukkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan jahat (I.S.
Susanto, 1992:6).
Dapatlah dipahami bahwa kejahatan korporasi merupakan salah
satu pola kriminalitas yang termasuk pada kejahatan non-konvensional yang hanya
ada di era modern, era industrialisasi bisnis dan pasaran transnasional yang
terkait erat dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Sistem ekonomi suatu masyarakat yang cenderung
kompetitif, mendorong timbulya konsumerisme, dan berskala besar
b. Pemahaman dari para pelaku usaha bahwa dirinya melanggar
hukum, namun mereka yakin bahwa tindakannya bukan sebagai perbuatan orang jahat
c. Kejahatan bisnis sebagian besar dilakukan oleh korporasi
besar dan sebagian lagi bersifat okupasional.
Kejahatan Bisnis
Pengertian istilah “kejahatan bisnis” dirumuskan oleh
John.E.Conklin sebagai: “Business crime is an illegal act, punishable by a
criminal sanction, which is committed by an individual or a corporation in the
course of a legitimate occupation or persuit in the industrial or commercial
sector for the purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of
money or the loss of property or personal advantage”. (Conklin,1977:11-13).
Perumusan “kejahatan bisnis” di atas menunjukkan salah satu pola kejahatan non
konvensional yang dewasa ini sangat menonjol karena menjadi problem hampir di
semua negara, terlebih negara yang sedang membangun yang sangat bergantung pada
perkembangan dan pertumbuhan ekonominya serta berhubungan erat dalam lintas
niaga transnasional. Di samping itu, pengertian “kejahatan bisnis” mengandung
pula makna filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, kejahatan
bisnis mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values)
dalam masyarakat manakala suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa
sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas. Perubahan nilai tersebut
menggambarkan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi
kejujuran (honesty) dlam kegiatan bisnis nasional dan internasional demi untuk mencapai
tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara singkat dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban
dan kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi para
pelaku bisnis yang beritikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah
hukum tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk
membantu menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan
keadilan bagi para pelaku bisnis yang beritikad baik dan telah dirugikan.
Adapun secara yuridis, pengertian istilah “kejahatan bisnis” menunjukkan bahwa
terdapat 2 (dua) sisi mata uang yaitu di satu sisi terdapat aspek hukum
perdata, dan di sisi lain terdapat aspek hukum pidana. Kedua aspek hukum
tersebut memiliki dua tujuan yang berbeda secara diametral dan memiliki sifat
atau karakteristik yang bertentangan satu sama lain. Aspek hukum perdata lebih
mementingkan perdamaian di antara para pihak, sedangkan aspek hukum pidana
lebih mementingkan melindungi kepentingan umum, masyarakat luas bahkan negara.
Secara sosiologis, pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan keadaan yang nyata
terjadi dalam aktivitas di dunia bisnis. Namun di sisi lain menunjukkan pula
bahwa kegiatan bisnis sudah tidak ada lagi ‘keramahan’ (unfriendly business
atmos- phere) atau seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di
antara pelaku bisnis.
Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi yang melakukan
tindak pidana tidak segampang dan semudah menerapkan sanksi pidana terhadap
orang / individu. Ada hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan
sebelum menjatuhkan sanksi pidana terhadap korporasi, yakni:
1. The degree of loss to the public
2. The level of complicity by high corporate
Beberapa faktor pemicu kejahatan korporasi berdasarkan atas
hasil riset yang dilakukan Clinard menyebutkan bahwa perilaku top manajemen ̧ kompetisi dan kerakusan, tipe korporasi dengan margin
keuntungan yang rendah atau tipe korporasi yang sangat kompetitif, riwayat
sosial korporasi, praktek dagang yang tidak jujur (unfair trade practices) dari
perusahaan saingan, kurangnya pemahaman terhadap etika bisnis adalah merupakan
faktor-faktor kriminogen dari kejahatan korporasi. (Clinard, 1983:53-70).
Dalam konteks tersebut, Romli Atmasasmita menegaskan bahwa
pelanggaran-pelanggaran dalam kegiatan bisnis sudah mencapai tingkat yang
sangat mengkhawatirkan jika tidak dapat dikatakan sudah mencapai titik nadir
sementara perangkat hukum untuk menemukan pelakunya dan menghukumnya sudah
tidak memadai lagi. (Romli Atmasasmita, 2003:24).
Hukum merupakan salah satu bidang yang perlu dibangun untuk
memperkokoh bangsa Indonesia di dalam menghadapi kemajuan baik ilmu, teknologi
dan ekonomi yang sangat pesat. Masalah hukum bukanlah masalah yang berdiri
sendiri, akan tetapi berkaitan dengan masalah-masalah lainnya.
Pembangunan hukum pidana nasional di era reformasi ini
lebih bermakna pada harmonisasi hukum dengan perkembangan hukum yang berlaku di
lingkungan negara-negara dan masyarakat beradab dan hukum pidana harus
benar-benar aspiratif terhadap kebutuhan masyarakat luas, baik dari sisi
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Fungsi hukum pidana adalah
melindungi sekaligus menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dan
kepentingan masyarakat, kepentingan negara dengan kepentingan perseorangan dan
kepentingan pelaku tindak pidana dengan kepentingan korban. Dalam hal ini,
bukan semata-mata persoalan antara kepentingan pelaku
dengan kepentingan korban yang mungkin dapat diselesaikan secara perdata atau
melalui alternatif penyelesaian sengketa (alternative dispute resolution).
Masih terdapat adanya paradigma klasik dalam menggunakan hukum sebagai sarana
untuk menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Para- digma klasik yang memiliki
pandangan bahwa hukum pidana berfungsi sebagai ultimum remedium disebabkan
karena dalam kenyataannya ada kasus- kasus yang tidak lagi cukup diselesaikan
hanya oleh sarana hukum administratif atau hukum perdata saja. Penggunaan
sarana hukum pidana yang bersifat primum remedium dipandang lebih cocok dan
tepat dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum tersebut.
Sumber : Lebrine :
Pengaruh Etika Bisnis Terhadap Kejahatan Korporasi dalam Lingkup Kejahatan
Bisnis
1 comments :
Thanks ya infonya..
http://cbs-bogor.net/
Post a Comment